Pengadilan Pajak kembali menguji validitas koreksi Pajak Pertambahan Nilai yang didasarkan pada metode ekualisasi data Peredaran Usaha PPh Badan dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN. Kasus PT BSP menyoroti kompleksitas masalah timing difference akuntansi dan ketentuan saat terutangnya PPN, di mana Direktur Jenderal Pajak (DJP) mengoreksi DPP PPN Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri sebesar Rp1.859.658.000,00 karena adanya selisih data ekualisasi.
Inti konflik dimulai dari keyakinan DJP bahwa selisih peredaran usaha PPh dan DPP PPN adalah bukti adanya penyerahan yang belum dilaporkan. Koreksi ini dilakukan DJP karena menganggap Wajib Pajak belum memungut PPN atas selisih tersebut. Namun, PT BSP secara tegas membantah, menjelaskan bahwa selisih tersebut bukan penjualan yang belum dikenakan PPN, melainkan perbedaan waktu pencatatan. PT BSP telah menerbitkan Faktur Pajak (FP) dan memungut PPN sesuai Pasal 13 ayat (1) dan (5) UU PPN, yaitu pada saat penerimaan uang muka dari pelanggan. Pencatatan di General Ledger (GL) mencerminkan penerimaan ini sebagai "Uang Muka Pelanggan," dan baru direklasifikasi menjadi "Penjualan" (pendapatan PPh) saat barang dikirim. Argumentasi ini secara substansi diterima Majelis.
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya secara konsisten menjunjung tinggi prinsip beban pembuktian (onus of proof) di pihak DJP, sesuai Pasal 12 ayat (3) UU KUP. Majelis menilai DJP tidak mampu menyediakan bukti primer yang kompeten, seperti dokumen transaksi, untuk membuktikan bahwa selisih ekualisasi tersebut benar-benar DPP yang belum terutang PPN. Kegagalan DJP dalam menyediakan bukti yang meyakinkan, membuat Majelis Hakim membatalkan seluruh koreksi DPP PPN sebesar Rp1.859.658.000,00. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya dokumentasi yang rinci dan ketersediaan working paper rekonsiliasi GL Uang Muka dengan Penjualan oleh Wajib Pajak untuk mengamankan posisi perpajakan mereka saat menghadapi sengketa ekualisasi.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini